Analisis Penerapan Paradigma Perubahan Sosial dan Perubahan
Hukum dalam Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (PKDRT)
Oleh :
Maratus sholekhah
1711143051/ HES III C
Dalam undang-undang No.23 Tahun 2004
pasal 1 ayat (1) Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap
seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaraan rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Di Indonesia, tingkat kekerasan dalam rumah tangga masih sangat tinggi. Fenomena kekerasan dalam rumah tangga terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan (baca: istri) sering menjadi korban. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga sebenarnya merupakan masalah sosial serius namun kurang mendapat tanggapan dalam masyarakat, karena pertama, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup pribadi dalam area keluarga. Kedua, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dianggap wajar dan sah, karena diyakini bahwa memperlakukan isteri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang terjadi dalam lembaga yang legal, yaitu lembaga perkawinan.2
Di Indonesia, tingkat kekerasan dalam rumah tangga masih sangat tinggi. Fenomena kekerasan dalam rumah tangga terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan (baca: istri) sering menjadi korban. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga sebenarnya merupakan masalah sosial serius namun kurang mendapat tanggapan dalam masyarakat, karena pertama, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup pribadi dalam area keluarga. Kedua, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dianggap wajar dan sah, karena diyakini bahwa memperlakukan isteri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang terjadi dalam lembaga yang legal, yaitu lembaga perkawinan.2
Berdasarkan pemikiran
tersebut, maka dibentuklah UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga. Tidak lain tujuan dibentuknya UU tersebut, adalah agar
dapat memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan, memberikan
penyadaran terhadap masyarakat dan aparat pemerintah bahwa kekerasan
dalam rumah tangga merupakan tindakan pelanggaran HAM.
Disini saya akan
menganalisis beberapa pasal pada UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam penerapan paradigma perubahan sosial dan
perubahan hukum.
1.
Pada BAB III Pasal 5 UU PKDRT dijelaskan bahwa “Setiap orang
dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah
tangganya dengan cara meliputi: Kekerasan fisik, Kekerasan psikis, Kekerasan
seksual, Penelantaran rumah tangga”. Jika kita kaitkan dengan paradigma
perubahan dan perubahan hukum, pada pasal 5 UU PKDRT tersebut mencerminkan
bahwa pasal tersebut lebih mengarah pada paradigma yang pertama yakni Hukum
adalah sebagai pelayan masyarakat agar hukum tidak tertinggal oleh laju
perubahan masyarakat.
Ciri-ciri
paradigma ini adalah :
·
Perubahan hukum atau
perubahan sosial cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam kondisi
ketergantungan.
·
Hukum selalu
menyesuaikan diri pada perubahan sosial.
·
Hukum berfungsi
sebagai alat mengabdi pada perubahan sosial.
Di
bentuknya UU PKDRT merupakan jalan keluar yang paling relevan untuk mengurangi
tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Hukum disini dibentuk setelah adanya
tindakan KDRT yang meningkat. Sebelum UU PKDRT dibentuk, kasus-kasus KDRT sulit
untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana Indonesia tidak mengenal KDRT,
bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri, orang tua terhadap
anak atau sebaliknya diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang
penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya,
sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti.Keadaan dan perkembangan hukum
senantiasa dipengaruhi oleh masyarakat, sehingga hukum merupakan manifestasi
dari nilai-nilai kehidupan masyarakat dimana hukum itu berlaku. Dalam paradigma
ini hukum disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.Namun terlepas itu, hukum
berperan sebagai alat rekayasa yang dibentuk dengan tujuan untuk mengontrol
sikap masyarakat agar lebih taat terhadap hukum.
2.
Pada BAB IV Pasal 10 UU PKDRT yang berbunyi :
Korban berhak
mendapatkan :
a. perlindungan dari pihak keluarga,
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya
baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan;
b. pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan medis;
c. penanganan secara khusus berkaitan
dengan kerahasiaan korban;
d. pendampingan oleh pekerja sosial dan
bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
e. pelayanan bimbingan rohani
Pada pasal ini lebih mengarah pada paradigma yang kedua
yakniHukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat atau
setidak-tidaknya dapat memicu perubahan.
Ciri-ciri paradigma
ini adalah :
·
Hukum merupakan alat
merekayasa masyarakat.
·
Hukum merupakan alat
merubah masyarakat secara langsung.
·
Hukum berorientasi
masa depan.
Disini hukum dibuat sebagai alat untuk merekayasa
masyarakat. Harus diakui kehadiran UU PKDRT membuka jalan bagi terungkapnya
kasus KDRT dan upaya perlindungan hak-hak korban. Dimana, awalnya KDRT dianggap
sebagai wilayah privat yang tidak seorang pun diluar lingkungan rumah tangga
dapat memasukinya. Lebih kurang empat tahun sejak pengesahannya pada tahun
2004, dalam perjalannnya UU ini masih ada beberapa pasal yang tidak
menguntungkan bagi perempuan korban kekerasan. PP No 4 tahun 2006 tentang
Pemulihan merupakan peraturan pelaksana dari UU ini, yang diharapkan
mempermudah proses implementasi UU sebagaimana yang tertera dalam mandat
UU ini.
3.
Pada BAB V Pasal 15 UU PKDRT yang berbunyi sebagai berikut :
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai
dengan batas kemampuannya untuk:
a. mencegah
berlangsungnya tindak pidana;
b. memberikan
perlindungan kepada korban;
c. memberikan
pertolongan darurat; dan
d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Pasal 15 UU PKDRT tersebut diatas mencerminkan bahwa pasal
tersebut mengarah pada paradigma yang kedua yakni Hukum
dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memicu
perubahan.
Ciri-ciri paradigma
ini adalah :
·
Hukum merupakan alat
merekayasa masyarakat.
·
Hukum merupakan alat
merubah masyarakat secara langsung.
·
Hukum berorientasi
masa depan.
Pasal 15 UU PKDRT tersebut diatas merupakan upaya hokum yang diciptakan
untuk mengantisipasi atau menghadapi persoalaan hokum yang tidak diinginkan.
Dalam paradigma ini
hukum diharapkan mampu menciptakan suatu perubahan dalam masyarakat. Semisal
merubah pola pikir masyarakat yang semula mereka acuh terhadap kekerasan dalam
rumah tangga yang kerap mereka temui di lingkungannya menjadi masyarakat yang
lebih sadar hukum.Banyak kasus yang terjadi di kalangan masyarakat seperi tidak bersedianya menjadi saksi bagi kasus KDRT
yang terjadi di depan matanya, dengan alasan takut menjadi saksi, takut
mendapatkan ancaman dari pelaku, takut mencampuri urusan rumah tangga orang,
ataupun alasan lainnya terkait dengan posisi, status, ekonomi dan juga
keselamatan yang bersangkutan. Kemudian dibentuk pula Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang selanjutnya disebut dengan UU PSK
berlaku sejak tanggal 11 Agustus 2006 setelah diundangkan di Lembaran Negara RI
No. 64 Tahun 2006. Pokok materi UU PSK ini meliputi perlindungan dan hak saksi
dan korban, lembaga perlindungan saksi dan korban, syarat dan tata cara
pemberian perlindungan dan bantuan, serta ketentuan pidana. UU PSK ini
dikeluarkan karena pentingnya saksi dan korban dalam proses pemeriksaan di
pengadilan sehingga membutuhkan perlindungan yang efektif, profesional, dan
proporsional terhadap saksi dan korban. Demikian pasal tersebut diatas dibentuk untuk merekayasa masyarakat dan mampu merubah pemikiran yang tumbuh
dan berkembang di kalangan masyarakat.
4.
Pada BAB VIII Pasal 44 ayat (1) s/d (4) UU PKDRT yang
berbunyi sebagai berikut:
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan
kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp 15.000.000,00
(lima belas juta rupiah).
2. Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka
berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda
paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima
juta rupiah).
4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh suami
terhadap isteri atau sebaliknya yang
tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan
atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah).
Pada pasal 44 UU PKDRT tersebut
mencerminkan bahwa pasal tersebut lebih mengarah pada paradigma yang kedua
yakni Hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat atau
setidak-tidaknya dapat memicu perubahan.
Ciri-ciri
paradigma ini adalah :
·
Hukum merupakan alat
merekayasa masyarakat.
·
Hukum merupakan alat
merubah masyarakat secara langsung.
·
Hukum berorientasi
masa depan.
Dalam paradigma ini hukum bertindak
sebagai alat rekayasa terbukti dalam pasal 44 UU PKDRT dijelaskan
ketentuan-ketentuan sanksi apabila melanggar UU PKDRT, bisa dikatakan disinisanksi
digunakan sebagai alat untuk menakut-nakuti masyarakat agar tetap patuh kepada
aturan-aturan sosial yang sudah ditentukan sehingga tidak melakukan tindakan
yang dilarang di dalam Undang-Undang tersebut. Selain itu, hukum juga sebagai
upaya untuk merubah masyarakat yang lebih taat hukum. Pada paradigma ini hukum
berorientasi masa depan, dibentuk untuk menangani kasus KDRT yang meningkat
dari waktu ke waktu (masa depan).
Demikian artikel ini saya buat, mohon
maaf jika ada salah kata. Artikel ini masih jauh dari kata sempurna, harap
maklum karena masih dalam proses pembelajaran dan masih perlu kritik dan saran
dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Ni’mahZulfatun.2012.sosiologi
hukum:sebuah pengantar,
Yogyakarta,TERAS,cet.1
Undang-undang
RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam RumahTangga (PKDRT)
http://ciskafadilah.blogspot.co.id/2012/04/kdrt.html, diakses 6-11-2015
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/653-undang-undang-no-23-tahun-2004-tentang-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-uu-pkdrt.html, diakses 6-11-2015
http://www.negarahukum.com/hukum/istri-dan-ancaman-kdrt.html, diakses 06-11-2015