Rabu, 23 Desember 2015

Orang yang termajinalkan oleh hukum

Orang Yang Termajinalkan Oleh Hukum
Oleh
Mar’atus Sholekhah
Nim : 1711143051/HES III C

Pada kesempatan kali ini, saya akan menulis artikel untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Hukum. Dalam tugas saya kali ini, saya akan sedikit memaparkan mengenai orang yang termajinalkan oleh hukum.
Kemiskinan merupakan suatu masalah yang sampai saat ini menjadi masalah yang sulit dipecahkan di negara kita, Indonesia. Soerjono Soekamto, mengatakan bahwa kemiskinan dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf hidup kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Dalam masyarakat, ada sekelompok manusia yang tidak terjangkau atau termajinalkan oleh pelayanan publik dikarenakan kurang mampu secara perekonomiannya. Salah satunya adalah mereka kelompok orang miskin. Padahal sebagai bagian masyarakat mereka punya hak dan kewajiban yang sama untuk mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan jaminan kesejahteraan.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 D(1), menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Jaminan negara ini kemudian dijabarkan dalam berbagai Undang-Undang dan peraturan yang berkaitan dengan akses masyarakat terhadap hukum dan keadilan. Pada tahun 2011 yang lalu bantuan hukum akhirnya telah memiliki payung hukum sendiri dengan diundangkanya Undang-Undang Bantuan Hukum yang mengatur secara khusus mengenai bantuan hukum.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, masyarakat dapat dengan mudah memperoleh akses terhadap bantuan hukum terutama bagi masyarakat yang kurang mampu secara perekonomiannya, selain membutuhkan bantuan hukum masyarakat juga membutuhkan sebuah sarana pendidikan hukum, karena pada kenyataanya masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahkan memahami tentang hukum dan tidak terpenuhi hak-haknya.
Selanjutnya saya akan memaparkan hasil dari wawancara yang saya lakukan. Disini saya mengambil salah seseorang dari kelompok orang miskin, yang saya jadikan sebagai narasumber pada wawancara saya kali ini.
Pada wawancara saya kemarin (20 Desember 2015), saya memutuskan untuk mendatangi salah seorang keluarga kurang mampu di desa saya. Beliau bernama Bapak Sutris, merupakan kepala keluarga yang menghidupi satu istri dan lima orang anaknya. Setibanya saya dirumah beliau, saya disambut dengan baik oleh Bapak Sutris. Sebelumnya saya sudah minta ijin agar berkenan untuk saya jadikan sebagai narasumber pada tugas kuliah saya kali ini. Obrolan saya langsung pada pokok persoalan dan mulailah beliau menceritakan bahwasannya kondisi keluarga yang mereka alami sungguh memprihatikan. Dalam kesehariannya, bapak Sutris hanyalah seorang tukang becak. Kehidupannya jauh dari kata layak, beliau memaparkan bahwa untuk makan sehari-haripun sulit karena hanya menggantungkan dari hasil perolehan ketika beliau menarik becak dan istrinya seorang ibu rumah tangga sambil kerja sampingan sebagai penjual jajanan gorengan yang di titipkan di warung-warung kecil di sekitar desa. Penghasilan yang tidak menentu membuat bapak Sutris terkadang kebingungan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari yang begitu banyak, belum lagi biaya sekolah anak-anaknya yang masih dibangku SMP dan SD. Beliau memaparkan bahwa tidak pernah mendapat bantuan miskin dari pemerintah, hanya sebatas mendapatkan beras miskin (raskin) itupun sekarung harus dibagi dengan dua anggota keluarga. Yang membuat saya lebih miris anak pertama dan kedua Bapak Sutris adalah mereka penyandang cacat mental. Setelah saya tanya lebih lanjut mengenai anaknya tersebut terkait dengan pendidikan yang diperoleh, beliau menjelaskan bahwa dulu sempat masuk di Sekolah Dasar (SD) namun karena keterbelakangan mental, ia dikeluarkan dari sekolah tersebut dan keluar tidak sampai lulus dengan mendapatkan ijasah. Beliau juga menegaskan bahwa untuk memindahkan ke Sekolah Luar Biasa (SLB) beliau tidak mempunyai biaya, belum lagi jarak antara rumah dengan lokasi (SLB) yang jauh tidak memungkinkan jika harus mengantar jemput anaknya. Karena beliau harus bekerja dengan tuntutan harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Disamping itu, tidak ada bantuan sama sekali dari pemerintah pada kedua anaknya tersebut untuk mengakses pendidikan. Harapan bapak Sutris begitu besar agar pemerintah lebih memprioritaskan keberadaan orang miskin.
Dari wawancara yang saya lakukan pada salah seorang dari kelompok orang kurang mampu atau orang miskin tersebut menunjukkan bahwa masyarakat miskin menjadi pihak yang paling rentan tidak mendapatkan bantuan apapun dari negara ketika haknya dilanggar. Dalam masyarakat miskin seperti halnya diatas ketika menghadapi masalah, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa kondisi sosial mereka telah menjadikan mereka tidak dapat mengakses bantuan, layanan publik yang mereka butuhkan. Meskipun konstitusi menjamin hak setiap warga negara mendapat perlakauan yang sama, termasuk hak untuk mengakses keadilan melalui pemberian bantuan terhadap orang yang kurang mampu, namun pada realitanya masih belum terwujud. Orang kaya dan mempunyai kekuasaan dengan mudah mengakses dan mendapatkan keadilan, namun tidak demikian halnya kelompok masyarakat miskin. Mereka tidak mempunyai kemampuan untuk menuntut. Kemiskinan yang berakibat terhadap rendahnya taraf pendidikan dan pengetahuan menjadikan masyarakat tidak sadar akan hak-haknya, namun walaupun mereka sadar akan hak-hak ini tidak serta merta menjadikan mereka dapat mendapatkan keadilan yang mereka cari.
Seharusnya dalam kasus diatas, masyarakat miskin mendapat perlakuan atau kebijakan khusus terhadap orang-orang yang rentan terlanggar haknya “affirmative action”. Karena sebagai bagian masyarakat mereka punya hak dan kewajiban yang sama untuk mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan jaminan kesejahteraan. Affirmative action dipandang genre diskriminasi yang positif karena sifatnya hanya sementara demi membuka kesempatan bagi kelompok masyarakat tertentu untuk meraih peluang yang sama sebagaimana telah dinikmati oleh kelompok masyarakat lainnya. Dunia ekonomi dan pendidikan seharusnya yang perlu banyak disoroti oleh pemerintah.
Berkaitan dengan status mereka yang miskin, sistem bantuan hukum yang dibangun oleh negara juga tidak berpihak kepada masyarakat miskin yang harusnya menjadi sasaran bantuan hukum. Negara dinilai pasif dalam hal pemberian bantuan hukum bagi kelompok masyarakat miskin ini.
Contoh lain, pasifnya negara dalam memberi bantuan hukum kepada masyarakat miskin dapat dilihat dari kasus yang menggemparkan masyarakat pada tahun 2009 lalu “kasus pencurian kakao oleh Nenek Minah”. Nenek Minah seorang perempuan tua yang dituduh mencuri tiga kakao perusahaan perkebunan, mengikuti proses pengadilan tanpa didampingi oleh seorang pengacara dan dia terpaksa mengeluarkan uang sendiri untuk biaya transport dari rumahnya ke pengadilan yang melebihi penghasilannya sehari-hari. Nenek Minah mengaku kepada wartawan bahwa dia tidak didampingi pengacara karena tidak tahu apa pengacara itu. Terlebih lagi, sebagai masyarakat desa yang buta huruf nenek ini tidak paham dengan pasal pasal 21 dan pasal 47 Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang perkebunan yang dituduhkan kepadanya. Tidak ada bantuan hukum ditawarkan oleh negara kepada nenek Minah dan negara juga tidak memberikan informasi mengenai peraturan hukum yang dikenakan kepadanya sebelumnya. Padahal sudah ada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 sebagai Upaya Pemenuhan Hak Masyarakat Miskin dan Marginal untuk Mendapatkan Bantuan Hukum.
Oleh sebab itu, konsep-konsep affirmatif action sebagai suatu diskriminasi positif harus dikawal dengan rambu-rambu yang jelas. Pejabat publik jangan hanya menjanjikkan kebijakan yang hanya menarik simpati sesaat.
Sekian artikel saya, mengenai orang yang termajinalkan oleh hukum. Kritik dan saran sangat saya butuhkan mengingat masih banyak kerkurangan dalam artikel ini. Semoga artikel ini membawa manfaat pada para pembaca, Terimakasih.