Minggu, 08 November 2015

Paradigma Sosial dan Perubahan Hukum





Analisis Penerapan Paradigma Perubahan Sosial dan Perubahan Hukum dalam Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)
Oleh :
Maratus sholekhah
1711143051/ HES III C

Dalam undang-undang No.23 Tahun 2004 pasal 1 ayat (1) Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Di Indonesia, tingkat kekerasan dalam rumah tangga masih sangat tinggi. Fenomena kekerasan dalam rumah tangga terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Perempuan (baca: istri) sering menjadi korban. Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga sebenarnya merupakan masalah sosial serius namun kurang mendapat tanggapan dalam masyarakat, karena pertama, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga memiliki ruang lingkup pribadi dalam area keluarga. Kedua, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga dianggap wajar dan sah, karena diyakini bahwa memperlakukan isteri sekehendak suami merupakan hak suami sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga. Ketiga, kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga adalah kekerasan yang terjadi dalam lembaga yang legal, yaitu lembaga perkawinan.2
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dibentuklah UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tidak lain tujuan dibentuknya UU tersebut, adalah agar dapat memberikan perlindungan hukum terhadap korban kekerasan, memberikan penyadaran  terhadap masyarakat dan aparat pemerintah bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindakan pelanggaran HAM.
Disini saya akan menganalisis beberapa pasal pada UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam penerapan paradigma perubahan sosial dan perubahan hukum.
1.      Pada BAB III Pasal 5 UU PKDRT dijelaskan bahwa “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara meliputi:  Kekerasan fisik, Kekerasan psikis, Kekerasan seksual, Penelantaran rumah tangga”. Jika kita kaitkan dengan paradigma perubahan dan perubahan hukum, pada pasal 5 UU PKDRT tersebut mencerminkan bahwa pasal tersebut lebih mengarah pada paradigma yang pertama yakni Hukum adalah sebagai pelayan masyarakat agar hukum tidak tertinggal oleh laju perubahan masyarakat.
Ciri-ciri paradigma ini adalah :
·         Perubahan hukum atau perubahan sosial cenderung diikuti oleh sistem lain karena dalam kondisi ketergantungan.
·         Hukum selalu menyesuaikan diri pada perubahan sosial.
·         Hukum berfungsi sebagai alat mengabdi pada perubahan sosial.
Di bentuknya UU PKDRT merupakan jalan keluar yang paling relevan untuk mengurangi tindakan kekerasan dalam rumah tangga. Hukum disini dibentuk setelah adanya tindakan KDRT yang meningkat. Sebelum UU PKDRT dibentuk, kasus-kasus KDRT sulit untuk diselesaikan secara hukum. Hukum Pidana Indonesia tidak mengenal KDRT, bahkan kata-kata kekerasan pun tidak ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kasus-kasus pemukulan suami terhadap isteri, orang tua terhadap anak atau sebaliknya diselesaikan dengan menggunakan pasal-pasal tentang penganiayaan, yang kemudian sulit sekali dipenuhi unsur-unsur pembuktiannya, sehingga kasus yang diadukan, tidak lagi ditindaklanjuti.Keadaan dan perkembangan hukum senantiasa dipengaruhi oleh masyarakat, sehingga hukum merupakan manifestasi dari nilai-nilai kehidupan masyarakat dimana hukum itu berlaku. Dalam paradigma ini hukum disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.Namun terlepas itu, hukum berperan sebagai alat rekayasa yang dibentuk dengan tujuan untuk mengontrol sikap masyarakat agar lebih taat terhadap hukum.
2.      Pada BAB IV Pasal 10 UU PKDRT yang berbunyi :
Korban berhak  mendapatkan : 
a.      perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b.      pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c.       penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; 
d.      pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan  peraturan perundang-undangan; dan
e.      pelayanan bimbingan rohani
Pada pasal ini lebih mengarah pada paradigma yang kedua yakniHukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memicu perubahan.
Ciri-ciri paradigma ini adalah :
·         Hukum merupakan alat merekayasa masyarakat.
·         Hukum merupakan alat merubah masyarakat secara langsung.
·         Hukum berorientasi masa depan.
Disini hukum dibuat sebagai alat untuk merekayasa masyarakat. Harus diakui kehadiran UU PKDRT membuka jalan bagi terungkapnya kasus KDRT dan upaya perlindungan hak-hak korban. Dimana, awalnya KDRT dianggap sebagai wilayah privat yang tidak seorang pun diluar lingkungan rumah tangga dapat memasukinya. Lebih kurang empat tahun sejak pengesahannya pada tahun 2004, dalam perjalannnya UU ini masih ada beberapa  pasal yang tidak menguntungkan bagi perempuan korban kekerasan. PP No 4 tahun 2006 tentang Pemulihan merupakan peraturan pelaksana dari UU ini, yang diharapkan mempermudah  proses implementasi UU sebagaimana yang tertera dalam mandat UU ini.
3.      Pada BAB V Pasal 15 UU PKDRT yang berbunyi sebagai berikut :
Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:
a.   mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b.   memberikan perlindungan kepada korban;
c.   memberikan pertolongan darurat; dan
d.   membantu  proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Pasal 15 UU PKDRT tersebut diatas mencerminkan bahwa pasal tersebut mengarah pada paradigma yang kedua yakni Hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memicu perubahan.
Ciri-ciri paradigma ini adalah :
·         Hukum merupakan alat merekayasa masyarakat.
·         Hukum merupakan alat merubah masyarakat secara langsung.
·         Hukum berorientasi masa depan.
Pasal 15 UU PKDRT tersebut diatas merupakan upaya hokum yang diciptakan untuk mengantisipasi atau menghadapi persoalaan hokum yang tidak diinginkan.
Dalam paradigma ini hukum diharapkan mampu menciptakan suatu perubahan dalam masyarakat. Semisal merubah pola pikir masyarakat yang semula mereka acuh terhadap kekerasan dalam rumah tangga yang kerap mereka temui di lingkungannya menjadi masyarakat yang lebih sadar hukum.Banyak kasus yang terjadi di kalangan masyarakat seperi tidak bersedianya menjadi saksi bagi kasus KDRT yang terjadi di depan matanya, dengan alasan takut menjadi saksi, takut mendapatkan ancaman dari pelaku, takut mencampuri urusan rumah tangga orang, ataupun alasan lainnya terkait dengan posisi, status, ekonomi dan juga keselamatan yang bersangkutan. Kemudian dibentuk pula Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang selanjutnya disebut dengan UU PSK berlaku sejak tanggal 11 Agustus 2006 setelah diundangkan di Lembaran Negara RI No. 64 Tahun 2006. Pokok materi UU PSK ini meliputi perlindungan dan hak saksi dan korban, lembaga perlindungan saksi dan korban, syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan, serta ketentuan pidana. UU PSK ini dikeluarkan karena pentingnya saksi dan korban dalam proses pemeriksaan di pengadilan sehingga membutuhkan perlindungan yang efektif, profesional, dan proporsional terhadap saksi dan korban. Demikian pasal tersebut diatas dibentuk  untuk merekayasa  masyarakat dan mampu merubah pemikiran yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat.



4.      Pada BAB VIII Pasal 44 ayat (1) s/d (4) UU PKDRT yang berbunyi sebagai berikut:
1.      Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup  rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara  paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak  Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
2.      Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
3.      Dalam hal perbuatan  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
4.      Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap  isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pada pasal 44 UU PKDRT tersebut mencerminkan bahwa pasal tersebut lebih mengarah pada paradigma yang kedua yakni Hukum dapat menciptakan perubahan dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memicu perubahan.
Ciri-ciri paradigma ini adalah :
·         Hukum merupakan alat merekayasa masyarakat.
·         Hukum merupakan alat merubah masyarakat secara langsung.
·         Hukum berorientasi masa depan.
Dalam paradigma ini hukum bertindak sebagai alat rekayasa terbukti dalam pasal 44 UU PKDRT dijelaskan ketentuan-ketentuan sanksi apabila melanggar UU PKDRT, bisa dikatakan disinisanksi digunakan sebagai alat untuk menakut-nakuti masyarakat agar tetap patuh kepada aturan-aturan sosial yang sudah ditentukan sehingga tidak melakukan tindakan yang dilarang di dalam Undang-Undang tersebut. Selain itu, hukum juga sebagai upaya untuk merubah masyarakat yang lebih taat hukum. Pada paradigma ini hukum berorientasi masa depan, dibentuk untuk menangani kasus KDRT yang meningkat dari waktu ke waktu (masa depan).

Demikian artikel ini saya buat, mohon maaf jika ada salah kata. Artikel ini masih jauh dari kata sempurna, harap maklum karena masih dalam proses pembelajaran dan masih perlu kritik dan saran dari pembaca.




DAFTAR PUSTAKA
Ni’mahZulfatun.2012.sosiologi hukum:sebuah pengantar, Yogyakarta,TERAS,cet.1
Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam RumahTangga (PKDRT)