Orang Yang Termajinalkan Oleh Hukum
Oleh
Mar’atus Sholekhah
Nim : 1711143051/HES III C
Pada kesempatan kali ini, saya akan
menulis artikel untuk memenuhi tugas mata kuliah Sosiologi Hukum. Dalam tugas
saya kali ini, saya akan sedikit memaparkan mengenai orang yang termajinalkan
oleh hukum.
Kemiskinan merupakan suatu masalah
yang sampai saat ini menjadi masalah yang sulit dipecahkan di negara kita,
Indonesia. Soerjono Soekamto, mengatakan bahwa kemiskinan dapat diartikan
sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri
sesuai dengan taraf hidup kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga,
mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Dalam masyarakat, ada
sekelompok manusia yang tidak terjangkau atau termajinalkan oleh pelayanan
publik dikarenakan kurang mampu secara perekonomiannya. Salah satunya adalah
mereka kelompok orang miskin. Padahal sebagai bagian masyarakat mereka punya
hak dan kewajiban yang sama untuk mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan,
dan jaminan kesejahteraan.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28
D(1), menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum. Jaminan negara ini kemudian dijabarkan dalam berbagai
Undang-Undang dan peraturan yang berkaitan dengan akses masyarakat terhadap
hukum dan keadilan. Pada tahun 2011 yang lalu bantuan hukum akhirnya telah
memiliki payung hukum sendiri dengan diundangkanya Undang-Undang Bantuan Hukum
yang mengatur secara khusus mengenai bantuan hukum.
Dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, masyarakat dapat dengan mudah
memperoleh akses terhadap bantuan hukum terutama bagi masyarakat yang kurang
mampu secara perekonomiannya, selain membutuhkan bantuan hukum masyarakat juga
membutuhkan sebuah sarana pendidikan hukum, karena pada kenyataanya masih
banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahkan memahami tentang hukum dan tidak
terpenuhi hak-haknya.
Selanjutnya saya akan memaparkan
hasil dari wawancara yang saya lakukan. Disini saya mengambil salah seseorang
dari kelompok orang miskin, yang saya jadikan sebagai narasumber pada wawancara
saya kali ini.
Pada wawancara saya kemarin (20
Desember 2015), saya memutuskan untuk mendatangi salah seorang keluarga kurang
mampu di desa saya. Beliau bernama Bapak Sutris, merupakan kepala keluarga yang
menghidupi satu istri dan lima orang anaknya. Setibanya saya dirumah beliau,
saya disambut dengan baik oleh Bapak Sutris. Sebelumnya saya sudah minta ijin
agar berkenan untuk saya jadikan sebagai narasumber pada tugas kuliah saya kali
ini. Obrolan saya langsung pada pokok persoalan dan mulailah beliau
menceritakan bahwasannya kondisi keluarga yang mereka alami sungguh
memprihatikan. Dalam kesehariannya, bapak Sutris hanyalah seorang tukang becak.
Kehidupannya jauh dari kata layak, beliau memaparkan bahwa untuk makan
sehari-haripun sulit karena hanya menggantungkan dari hasil perolehan ketika
beliau menarik becak dan istrinya seorang ibu rumah tangga sambil kerja
sampingan sebagai penjual jajanan gorengan yang di titipkan di warung-warung
kecil di sekitar desa. Penghasilan yang tidak menentu membuat bapak Sutris
terkadang kebingungan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sehari-hari yang
begitu banyak, belum lagi biaya sekolah anak-anaknya yang masih dibangku SMP
dan SD. Beliau memaparkan bahwa tidak pernah mendapat bantuan miskin dari
pemerintah, hanya sebatas mendapatkan beras miskin (raskin) itupun sekarung
harus dibagi dengan dua anggota keluarga. Yang membuat saya lebih miris anak
pertama dan kedua Bapak Sutris adalah mereka penyandang cacat mental. Setelah
saya tanya lebih lanjut mengenai anaknya tersebut terkait dengan pendidikan
yang diperoleh, beliau menjelaskan bahwa dulu sempat masuk di Sekolah Dasar
(SD) namun karena keterbelakangan mental, ia dikeluarkan dari sekolah tersebut
dan keluar tidak sampai lulus dengan mendapatkan ijasah. Beliau juga menegaskan
bahwa untuk memindahkan ke Sekolah Luar Biasa (SLB) beliau tidak mempunyai
biaya, belum lagi jarak antara rumah dengan lokasi (SLB) yang jauh tidak
memungkinkan jika harus mengantar jemput anaknya. Karena beliau harus bekerja
dengan tuntutan harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Disamping itu, tidak
ada bantuan sama sekali dari pemerintah pada kedua anaknya tersebut untuk
mengakses pendidikan. Harapan bapak Sutris begitu besar agar pemerintah lebih
memprioritaskan keberadaan orang miskin.
Dari wawancara yang saya lakukan pada
salah seorang dari kelompok orang kurang mampu atau orang miskin tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat miskin menjadi pihak yang paling rentan tidak mendapatkan
bantuan apapun dari negara ketika haknya dilanggar. Dalam masyarakat miskin
seperti halnya diatas ketika menghadapi masalah, mereka harus menghadapi
kenyataan bahwa kondisi sosial mereka telah menjadikan mereka tidak dapat
mengakses bantuan, layanan publik yang mereka butuhkan. Meskipun konstitusi
menjamin hak setiap warga negara mendapat perlakauan yang sama, termasuk hak
untuk mengakses keadilan melalui pemberian bantuan terhadap orang yang kurang
mampu, namun pada realitanya masih belum terwujud. Orang kaya dan mempunyai
kekuasaan dengan mudah mengakses dan mendapatkan keadilan, namun tidak demikian
halnya kelompok masyarakat miskin. Mereka tidak mempunyai kemampuan untuk
menuntut. Kemiskinan yang berakibat terhadap rendahnya taraf pendidikan dan
pengetahuan menjadikan masyarakat tidak sadar akan hak-haknya, namun walaupun
mereka sadar akan hak-hak ini tidak serta merta menjadikan mereka dapat
mendapatkan keadilan yang mereka cari.
Seharusnya dalam kasus diatas,
masyarakat miskin mendapat perlakuan atau kebijakan khusus terhadap orang-orang
yang rentan terlanggar haknya “affirmative action”. Karena sebagai bagian
masyarakat mereka punya hak dan kewajiban yang sama untuk mendapatkan layanan
kesehatan, pendidikan, dan jaminan kesejahteraan. Affirmative action dipandang
genre diskriminasi yang positif karena sifatnya hanya sementara demi membuka
kesempatan bagi kelompok masyarakat tertentu untuk meraih peluang yang sama
sebagaimana telah dinikmati oleh kelompok masyarakat lainnya. Dunia ekonomi dan
pendidikan seharusnya yang perlu banyak disoroti oleh pemerintah.
Berkaitan
dengan status mereka yang miskin, sistem bantuan hukum yang dibangun oleh
negara juga tidak berpihak kepada masyarakat miskin yang harusnya menjadi
sasaran bantuan hukum. Negara dinilai pasif dalam hal pemberian bantuan hukum
bagi kelompok masyarakat miskin ini.
Contoh
lain, pasifnya negara dalam memberi bantuan hukum kepada masyarakat miskin
dapat dilihat dari kasus yang menggemparkan masyarakat pada tahun 2009 lalu
“kasus pencurian kakao oleh Nenek Minah”. Nenek Minah seorang perempuan tua
yang dituduh mencuri tiga kakao perusahaan perkebunan, mengikuti proses
pengadilan tanpa didampingi oleh seorang pengacara dan dia terpaksa
mengeluarkan uang sendiri untuk biaya transport dari rumahnya ke pengadilan
yang melebihi penghasilannya sehari-hari. Nenek Minah mengaku kepada wartawan
bahwa dia tidak didampingi pengacara karena tidak tahu apa pengacara itu.
Terlebih lagi, sebagai masyarakat desa yang buta huruf nenek ini tidak paham
dengan pasal pasal 21 dan pasal 47 Undang-Undang nomor 18 tahun 2004 tentang
perkebunan yang dituduhkan kepadanya. Tidak ada bantuan hukum ditawarkan oleh
negara kepada nenek Minah dan negara juga tidak memberikan informasi mengenai
peraturan hukum yang dikenakan kepadanya sebelumnya. Padahal sudah ada
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 sebagai Upaya Pemenuhan Hak Masyarakat Miskin
dan Marginal untuk Mendapatkan Bantuan Hukum.
Oleh
sebab itu, konsep-konsep affirmatif action sebagai suatu diskriminasi positif
harus dikawal dengan rambu-rambu yang jelas. Pejabat publik jangan hanya
menjanjikkan kebijakan yang hanya menarik simpati sesaat.
Sekian
artikel saya, mengenai orang yang termajinalkan oleh hukum. Kritik dan saran
sangat saya butuhkan mengingat masih banyak kerkurangan dalam artikel ini.
Semoga artikel ini membawa manfaat pada para pembaca, Terimakasih.